Sarjana-sarjana Belanda yang meminati Sosiologi dahulu banyak bergelar Sarjana Hukum, dan aspek-aspek Sosiologi juga diajarkan di Fakultas Hukum, mungkin warisan dari periode mempelajari Hukum Adat yang masih diminati. Ini sebabnya mengapa baik di Universitas Indonesia dan di Universitas Gadjah Mada dosen-dosen Indonesia banyak bergelar SH. Seperti misalnya Soelaeman Soemardi, Soekanto, Soetandiyo Wignyo Soebroto, Satjipto Raharjo dan lain-lain.
Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.
Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain.
Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.
Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi.
Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.
“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”. (Gouldner, 1973:94)
Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.
Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.
Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.
Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.
Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.
Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.
REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA
Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.
Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.
Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru.
Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.
Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961). [1]
K. Boulding (1962) seorang guru besar ekonomi menambahkan teori konflik dan memperkaya theori klasik terdahulu (Marx, Simel, Coser). [2]
Erat pula kaitannya dengan gejala-gejala yang kita alami sejak Reformasi 1998 adalah buku-buku C. Wright MILLS (2959 dan 1963). [3]
[1] Roberth Presthus (1962). “ The Organizational Society; An Analysis and a Theory” New York, random House.
David RIESMAN, dkk. (1961) “The Lonely Crowd.” New Haven, Yale University Press
[2] Kenneth BOULDING (1962). “ Conflict and Defensel; A General Theory”. New York, Harper Torchbooks.
[3] C. Wright Mills (1959). “The Power Elite”. New York, Oxford Univ. Press.
________ (1963). “Power Politics and People.” London, Oxford Univ. Press.
Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.
Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.
Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun.
Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.
Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.
Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu
Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi
R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.
Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).
Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama , proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat , referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat.
Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya?
Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju.
Saya sangat setuju dengan yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa tidak merupakan 'alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan' ( KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan 'merekonstruksikan realitas sosial', sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- copy ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat.
Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)
Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI . Dalam tulisannya "Majalah HAI dan 'Boyish Culture'" ( KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan "bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas lewat media massa".
Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap publik.
Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999).
Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.
Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, 'kenyataan' Anda berbeda dengan 'kenyataan' saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).
Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.
Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.
Referensi
• Abrar, Ana Nadhya (1997): Bila Fenomena Jurnalisme Direfleksikan , Jakarta.
• Ang, Ien (1999): "Kultur und Kommunikation, Auf dem Weg zu einer ethnographischen Kritik des Medienkonsums in transnationalen Mediensystemen", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung , Lüneburg, 317-340.
• Cardoso, Fernando Henrique/Enzo Falletto (1979): Dependency and Development in Latin America , Berkeley.
• Galtung, Johan (1971): "A Structural Theory of Imperialism", in: JOURNAL OF PEACE RESEARCH 8(1971)2, 81-117.
• Halloran, James D. (1998): "Social Science, Communication Research and the Third World", in: MEDIA DEVELOPMENT (1998)2, 43-46.
• Hepp, Andreas (1999): Cultural Studies und Medienanalyse, Eine Einführung, Opladen.
• Kellner, Douglas (1999): "Medien- und Kommunikationsforschung von Cultural Studies, Wider ihre Trennung", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung , Lüneburg, 341-363.
• Luhmann, Niklas (1990): Soziologische Aufklärung 5, Konstruktivistische Perspektiven, Opladen. Luhmann, Niklas (1996): Die Realität der Massenmedien, Opladen.
• Frank Marcinkowski (1993): Publizistik als autopoietisches System, Politik und Massenmedien, Eine systemtheoretische Analyse, Opladen.
• Talcott Parsons (1964[1951]): The Social System , New York/London. Schiller, Herbert (1969): Mass Communication and American Empire , New York.
Oleh: Hartoto
Pada dasarnya, sosiologi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sosiologi umum dan sosiologi khusus. Sosiologi umum menyelidiki gejala sosio-kultural secara umum. Sedangkan Sosiologi khusus, yaitu pengkhususan dari sosiologi umum, yaitu menyelidiki suatu aspek kehidupan sosio kultural secara mendalam. Misalnya: sosiologi masayarakat desa, sosiologi masyarakat kota, sosiologi agama, sosiolog hukum, sosiologi pendidikan dan sebagainya.Jadi sosiologi pendidikan merupakan salah satu sosiologi khusus.
Beberapa defenisi sosiologi pendidikan menurut beberapa ahli:
1. Menurut F.G. Robbins, sosiologi pendidikan adalah sosiologi khusus yang tugasnya menyelidiki struktur dan dinamika proses pendidikan. Struktur mengandung pengertian teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian dan hubungan kesemuanya dengantata sosial masyarakat. Sedangkan dinamika yakni proses sosial dan kultural, proses perkembangan kepribadian,dan hubungan kesemuanya dengan proses pendidikan.
2. Menurut H.P. Fairchild dalam bukunya ”Dictionary of Sociology” dikatakan bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental. Jadi ia tergolong applied sociology.
3. Menurut Prof. DR S. Nasution,M.A., Sosiologi Pendidikana dalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.
4. Menurut F.G Robbins dan Brown, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu yang membicarakan dan menjelaskan hubungan-hubungan sosial yang mempengaruhi individu untuk mendapatkan serta mengorganisasi pengalaman. Sosiologi pendidikan mempelajari kelakuan sosial serta prinsip-prinsip untuk mengontrolnya.
5. Menurut E.G Payne, Sosiologi Pendidikan ialah studi yang komprehensif tentang segala aspek pendidikan dari segi ilmu sosiologi yang diterapkan.
6. Menurut Drs. Ary H. Gunawan, Sosiologi Pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang berusaha memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan analisis atau pendekatan sosiologis.
Dari beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek pendidikan, baik itu struktur, dinamika, masalah-masalah pendidikan, ataupun aspek-aspek lainnya secara mendalam melalui analisis atau pendekatan sosiologis.
DAFTAR PUSTAKA
H. Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Hartoto. 2008. Defenisi Sosiologi Pendidikan. Online (http://www.fatamorghana. wordpress.com, diakses 20 Maret 2008).
Sarjana-sarjana Belanda yang meminati Sosiologi dahulu banyak bergelar Sarjana Hukum, dan aspek-aspek Sosiologi juga diajarkan di Fakultas Hukum, mungkin warisan dari periode mempelajari Hukum Adat yang masih diminati. Ini sebabnya mengapa baik di Universitas Indonesia dan di Universitas Gadjah Mada dosen-dosen Indonesia banyak bergelar SH. Seperti misalnya Soelaeman Soemardi, Soekanto, Soetandiyo Wignyo Soebroto, Satjipto Raharjo dan lain-lain.
Pengaruh sosiologi Eropa memang juga menggali dan dari pemikir-pemikir falsafah a.l. Bapak Sosiologi August Comte (1798-1857). Pendekatan yang agak ethno-Antropologis tercermin juga dalam buku E. Durkheim tentang agama, tetapi buku-buku lain seperti mengenai “Pembagian Kerja” (1966) dan “Bunuh Diri” sudah jelas dikarang dalam konteks makro sosiologi. Memang penyebaran theori-theori klasik Sosiologi di Indonesia tidak terlalu luas, nama-nama seperti P. Sorokin, M. Weber, Znaniecki, Marx, Von Wiese, G. Simmel, T. Shanin dan banyak lagi kurang mengisi bahan kuliah para dosen.
Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada kecenderungan lebih banyak ke Amerika Serikat daripada ke Eropa. Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D. seperti Prof. Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Prof. Hasyah Bachtiar (hanya sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvad) dan lain-lain.
Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya kepada pemikir / ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah assumsi yang mendasari theori. Demikian keperluan pemerintah jajahan di Hindia Belanda mendorong ilmuwan menelusuri adat kebiasaan suku-suku bangsa di Nusantara. Pengertian yang diperoleh mengarahkan kebijaksanaan sedemikian rupa sehingga mereka yang dijajah tidak menimbulkan penolakan atau pembangkangan yang terlalu kuat.
Dalam masa 1800-1825, dibawah pengaruh tumbuhnya kaum borjuis di Eropa dan awal industrialisasi yang menimbulkan / menyuburkan “budaya utilitarianisme” sosiologi seakan-akan hanya mempelajari gejala-gejala yang tersisa (unfinished business) dalam perjalanan revolusi industri. A. Gouldner (1973:92) mendeskripsikannya dalam kalimat “Sociology made the residual, Social, Element its sphere”. Jadi ranah sosiologi seakan-akan dipisah dari perkembangan ekonomi dan teknologi.
Baru sekitar pertengahan abad ke-19 sosiologi, ekonomi dan politik (Marx, 1848) mulai difahami sebagai bidang-bidang ilmu yang saling terjalin.
“Sociology thus remains concerned with society as a “whole” as some kind of totality, but it now regards itself as responsible only for one dimension of this totality. Society has been parceled out analytically (Tj. Only) among the various social sciences. From this analytic standpoint, sociology is indeed, concerned with social systems or society as a “whole”, but only as it is a social whole”. (Gouldner, 1973:94)
Theori dalam ilmu sosial pun mencari keteraturan perilaku manusia serta pemahaman dan sikap yang mendasarinya. Karena keadaan masyarakat yang berubah-ubah, pemahaman, sikap dan perilaku warga / pelaku social pun dapat berubah. Memang perubahaan sosial bisa bersifat makro, tetapi juga bisa lebih mikro mencakup kelompok-kelompok masyarakat yang relatif lebih kecil dari satu bangsa, atau kumpulan bangsa-bangsa. Theori juga mengandung sifat universalitas, artinya dapat berlaku di lain masyarakat yang mana saja, walaupun sering dibedakan atara Grand Theory dan theori yang cakupannya tidak seluas itu.
Theori August Comte, Karl Marx dan beberapa theory Max Weber dapat digolongkan ke Grand Theory, sedangkan theori Parson relatif mikro karena melepaskan diri dari kerangka sejarah dan memfokuskan analisnya pada sistem sosial dan struktur, lebih khusus dalam masyarakat Amerika Serikat.
Seorang ahli Sosiologi Alwin Gouldner (1971) yang bersifat kritis dan menulis buku berjudul “The Coming Crisis of Western Sociology” mengungkapkan bahwa Talcott Parsons menghasilkan “Academic Sosiology” dimasa Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi yang dahsyat (1930), bahkan aliran tersebut kemudian mempengaruhi di luar A.S.
Parsons juga mencoba mencari penyelesaian lebih prgamatis dalam zamannya yang pemikirannya membuahkan theori “Social System”. Ini sebanya theori tesebut juga mempengaruhi pengajaran dan pemahaman sosiologi, yang waktu tahun 1930-an menarik banyak penganut pakar Sosiolog di luar AS. Bahkan sedemikian rupa sehingga menggusur theori-theori sosiologi dalam tradisi Eropa, seperti Max Weber, Karl Mannheim dan lain-lain yang tidak mengesampingkan dimensi falsafah dan sejarah. Jadi boleh dikatakan sosiologi Meso timbul dengan theori Parsons, tetapi dengan mengorbankan faktor “dinamika” (perubahan sosial makro yang ciri Sosiologi Eropa) dengan mengunggulkan “Struktur dan Fungsi”.
Akibat pengaruh Amerika Serikat sebagai negara adidaya setelah 1950 yang terus meluas setelah perang dunia kedua, theori Sosiologi dinegara berkembang pun terpengaruhi, karena menekuni masalah yang tidak melampaui batas “nation state”. Negara-negara baru dengan kesadaran nasional yang tinggi ingin mengatur struktur kelembagaan dalam masyarakat masing-masing.
Sekarang di Indonesia mulai terasa adanya dilemma, karena “nation state” belum mantap sudah timbul Globalisasi yang pasti merubah pengelompokan dan perilaku-perilaku sosial yang lebih universal.
REORIENTASI SOSIOLOGI INDONESIA
Baik lahirnya “nation state” Indonesia di pertengahan abad ke-20 dan pembangunan nasional yang digalakkan selama periode pemerintahan Orde Baru merangsang tumbuhnya theori struktur dan fungsi Parsons. Bukan saja pragmatik (non-dinamika) yang dipentingkan karena tujuannya adalah pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kurang mengulas perubahan sosial dan konflik. Perubahan struktur sosial yang sebenarnya di Indonesia akan dimulai tahun 1960 dengan mengatur agraria, berhenti tetapi itu (1965) dan kemudian andalannya adalah menumbuhkan klas menengah. Sering dikatakan bahwa klas menengah merupakan prasyarat untuk pertumbuhan demokrasi maupun ekonomi.
Dialektika dalam masyarakat yang mengandung potensi konflik , antara sentralisme politik dan arus kebebasan generasi muda yang tertekan, meletus waktu krisis 1997 dan Reformasi 1998 sampai menggoncangkan sendi-sendi masyarakat.
Gejala-gejala yang sebelumnya latent, sekarang menjadi perhatian Rakyat, dan aneka elite menjadi faktor yang penting dalam usaha mecapai konsensus nasional baru.
Mengingat hal-hal tersebut diatas, terasa bahwa buku P. Sorokin (1928) “Contemporary Sociological Theories” sudah diperluas dengan theori-theori yang sudah lebih mengintegrasikan beberapa cabang ilmu-ilmu sosial.
Pertautan antara aspek-aspek psikologi misalnya dapat ditemukan dalam buku R. Presthus (1962) dan D. Riesman dkk. (1961). [1]
K. Boulding (1962) seorang guru besar ekonomi menambahkan teori konflik dan memperkaya theori klasik terdahulu (Marx, Simel, Coser). [2]
Erat pula kaitannya dengan gejala-gejala yang kita alami sejak Reformasi 1998 adalah buku-buku C. Wright MILLS (2959 dan 1963). [3]
[1] Roberth Presthus (1962). “ The Organizational Society; An Analysis and a Theory” New York, random House.
David RIESMAN, dkk. (1961) “The Lonely Crowd.” New Haven, Yale University Press
[2] Kenneth BOULDING (1962). “ Conflict and Defensel; A General Theory”. New York, Harper Torchbooks.
[3] C. Wright Mills (1959). “The Power Elite”. New York, Oxford Univ. Press.
________ (1963). “Power Politics and People.” London, Oxford Univ. Press.
Analisa-analisa pakar-pakar tersebut diatas menunjukkan pentingnya dinamika sosial dalam masyarakat modern yang lebih memperkaya imajinasi sosiologi kita. Jadi di Amerika Serikat setelah T. Parsons timbul mazhab-mazhab Sosiologi muda yang lebih memahami pentingnya gejala perubahan dan konflik sosial, yang pada hemat penulis lebih merupakan warisan dari tradisi Sosiologi Eropa.
Ini dibenarkan oleh a. Gouldner yang menulis dan menyimpulkan bahwa “Academic Sociology semakin terjalin dengan analisa K. Marx, sehingga di Amerika misalnya menimbulkan gerakan “New Left” menentang Establishment atau di Eropa (Jerman) “Tentara Merah” dengan tokoh muda Beader Meinhof. Mungkin P.R.D di Indonesia dapat diketegorikan dalam pemberontakan generasi muda seperti itu, yang sudah jenuh dengan elite Orde Baru di Jepang pun ada gerakan-gerakan serupa.
Pemberontakan menentang tradisi dan pemikiran generasi “arrive” yang kolot oleh generasi muda selalu akan timbul dalam masyarakat manusia sebagai terjadi tahun 1945, sebentar di tahun 1965 dan dewasa ini sejak tahun 1998. Dalam arti yang lebih murni memang paradigma yang umum dianut sarjana Sosiologi di Indonesia perlu dirubah. Kalau di Zaman Orde Baru sukar untuk menganalisa secara terbuka gejala stratifikasi sosial dan konflik antara Klas, sekarang sudah lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman penjajahan sekalipun.
Struktur feodal memang berlapis-lapis dan eksploatasi jelas sudah ada. Jadi perlu reorientasi sosiologi untuk banyak ilmuwan Sosiologi dan cedekiawan yang memperhatikan perkembangan kebudayaan karena keadaan sudah berubah. Tantangan bukan hanya ada di dalam negeri, tetapi sekaligus juga dalam hubungan kita dengan negara dan bangsa, bukan saja yang geografis menjadi tetangga kita, tetapi juga dengan negara-negara sebenua, bahkan di benua lain.
Satuan pelaku sosial bukan saja lagi “nation state” tetapi komunitas negara atau bangsa yang sudah melintasi batas nation-state. Mazhab-mazhab agama menjadi salah satu ilustrasi jelas, tetapi juga “pendukung pelestarian alam dan lingkungan, serta perjuangan untuk “Hak Azasi Manusia” dan “Gender” dapat segera difahami sebagai komunitas besar yang menjadi ciri pengelompokan Global. Sosiologi tidak dapat lagi bertahan dengan membatasi diri dengan mempelajari “residual social elements seperti pernah digagas oleh cendekiawan Prancis Saint Simon di awal abad ke-19.
Inilah sebabnya mengapa perlu ada reorientasi Sosiologi di Indonesia; bukan ekonomi lagi yang akan bertahan sebagai “The Queen of The Social Sciences”, tetapi sosiologi yang mengulur tangan kepada cabang-cabang ilmu Sosial lain dan Humaniora untuk menganalisa dan memecahkan masalah kemasyarakatan secara terpadu
Penggunaan Media dalam Penerapan Teori Sosiologi
R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.
Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).
Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama , proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat , referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat.
Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya?
Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju.
Saya sangat setuju dengan yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa tidak merupakan 'alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan' ( KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan 'merekonstruksikan realitas sosial', sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- copy ) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat.
Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)
Dalam konteks ini, maka tidak sepenuhnya kita harus setuju dengan pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI . Dalam tulisannya "Majalah HAI dan 'Boyish Culture'" ( KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan "bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas lewat media massa".
Pertama , pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua , pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap publik.
Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999).
Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.
Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal ( the truth out there ), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, 'kenyataan' Anda berbeda dengan 'kenyataan' saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).
Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.
Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.
Referensi
• Abrar, Ana Nadhya (1997): Bila Fenomena Jurnalisme Direfleksikan , Jakarta.
• Ang, Ien (1999): "Kultur und Kommunikation, Auf dem Weg zu einer ethnographischen Kritik des Medienkonsums in transnationalen Mediensystemen", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung , Lüneburg, 317-340.
• Cardoso, Fernando Henrique/Enzo Falletto (1979): Dependency and Development in Latin America , Berkeley.
• Galtung, Johan (1971): "A Structural Theory of Imperialism", in: JOURNAL OF PEACE RESEARCH 8(1971)2, 81-117.
• Halloran, James D. (1998): "Social Science, Communication Research and the Third World", in: MEDIA DEVELOPMENT (1998)2, 43-46.
• Hepp, Andreas (1999): Cultural Studies und Medienanalyse, Eine Einführung, Opladen.
• Kellner, Douglas (1999): "Medien- und Kommunikationsforschung von Cultural Studies, Wider ihre Trennung", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung , Lüneburg, 341-363.
• Luhmann, Niklas (1990): Soziologische Aufklärung 5, Konstruktivistische Perspektiven, Opladen. Luhmann, Niklas (1996): Die Realität der Massenmedien, Opladen.
• Frank Marcinkowski (1993): Publizistik als autopoietisches System, Politik und Massenmedien, Eine systemtheoretische Analyse, Opladen.
• Talcott Parsons (1964[1951]): The Social System , New York/London. Schiller, Herbert (1969): Mass Communication and American Empire , New York.
Pendahuluan
kehidupan yang dibangun oleh Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat sipil demokratis, adanya
dan ditegakkannya hukum untuk supremasi keadilan, pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan sosial
dan rasa aman dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan kehidupan ekonomi
yang mensejahterakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia Baru dari hasil reformasi atau perombakan tatanan
kehidupan Orde Baru adalah sebuah "masyarakat multikultural Indonesia" dari puing-puing tatanan kehidupan Orde Baru
yang bercorak "masyarakat majemuk" (plural society). Sehingga, corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika
bukan lagi keanekaragaman sukubangsaa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Indonesia.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi
yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan
(Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga
masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam
masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari
masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai
kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme ini sebenarnya telah
digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai
kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan
bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah".
Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud bila:
(1) Konsep multikulturalisme menyebar luas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia, serta adanya keinginan
bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) Kesamaan
pemahaman diantara para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bagunan konsep-konsep yang mendukungnya,
dan (3) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.
Konsep Multikulturalisme dan Persebarannya
Walaupun multikulturalisme itu telah digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk mendesain kebudayaan bangsa
Indonesia tetapi bagi pada umumnya orang Indonesia masa kini multikulturalisme adalah adalah sebuah konsep asing.
Saya kira perlu adanya tulisan-tulisan yang lebih banyak oleh para ahli yang kompeten mengenai multikulturalisme di
media massa daripada yang sudah ada selama ini. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan sukubangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena
multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme
akan harus mau tidak mau akan juga mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideologi ini, yaitu politik dan
demokrasi, keadilan dan penegakkan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan
minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.
Kalau kita melihat apa yang terjadi di Amerika Serikat dan di negara-negara Eropah Barat maka sampai dengan Perang
Dunia ke-2 masyarakat-masyarakat tersebut hanya mengenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan Kulit Putih yang
Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut digolongkan sebagai minoritas
dengan segala hak-hak mereka yang dibatasi atau dikebiri. Di Amerika Serikat berbagai gejolak untuk persamaan hak
bagi golongan minoritas dan kulit hitam serta kulit berwarna mulai muncul di akhir tahun 1950an. Puncaknya adalah pada
tahun 1960an dengan dilarangnya perlakuan diskriminasi oleh orang Kulit Putih terhadap orang Kulit Hitam dan Berwarna
di tempat-tempat umum, perjuangan Hak-Hak Sipil, dan dilanjutkannya perjuangan Hak-Hak Sipil ini secara lebih efektif
melalui berbagai kegiatan affirmative action yang membantu mereka yang tergolong sebagai yang terpuruk dan minoritas
untuk dapat mengejar ketinggalan mereka dari golongan Kulit Putih yang dominan di berbagai posisi dan jabatan dalam
berbagai bidang pekerjaan dan usaha (lihat Suparlan 1999).
Di tahun 1970an upaya-upaya untuk mencapai kesederajatan dalam perbedaan mengalami berbagai hambatan, karena
corak kebudayaan Kulit Putih yang Protestan dan dominan itu berbeda dari corak kebudayaan orang Kulit Hitam, orang
Indian atau Pribumi Amerika, dan dari berbagai kebudayaan bangsa dan sukubangsa yang tergolong minoritas
sebagaimana yang dikemukakan oleh Nieto (1992) dan tulisan-tulisan yang di-edit oleh Reed (1997). Yang dilakukan oleh
para cendekiawan dan pejabat pemerintah yang pro demokrasi dan HAM, dan yang anti rasisme dan diskriminasi adalah
dengan cara menyebarluaskan konsep multikulturalisme dalam bentuk pengajaran dan pendidikan di sekolah-sekolah di
tahun 1970an. Bahkan anak-anak Cina, Meksiko, dan berbagai golongan sukubangsa lainnya dewasa ini dapat belajar
dengan menggunakan bahasa ibunya di sekolah sampai dengan tahap-tahap tertentu (Nieto 1992). Jadi kalau Glazer
(1997) mengatakan bahwa 'we are all multiculturalists now' dia menyatakan apa yang sebenarnya terjadi pada masa
sekarang ini di Amerika Serikat, dan gejala tersebut adalah produk dari serangkaian proses-proses pendidikan
multikulturalisme yang dilakukan sejak tahun 1970an.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan
sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya. Multikulturalisme bukan
sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan
seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan
mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan
landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta
berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan diantara
para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan
pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan
multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan,
ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang
relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 2002)..
Pemahaman Tentang Multikulturalisme
Akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau
setidak-tidaknya tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan konsep yang dipunyai
oleh ahli atau ahli-ahli lainnya. Karena multikulturalsime itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk
meningkatkan derajat manusia dan kemanusiannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya
bagi kehidupan manusia. Saya melihat kebudayaan dalam perspektif tersebut dan karena itu melihat kebudayaan
sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang juga harus kita perhatikan bersama untuk kesamaan pendapat dan
pemahaman adalah bagaimana kebudayaan itu operasional melalui pranata-pranata sosial.
Sebagai sebuah ide atau ideologi multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur
kegiatan kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, dan kehidupan
politik, dan berbagai kegiatan lainnya di dalam masyarakat yang bersangkutan Kajian-kajian mengenai corak kegiatan,
yaitu hubungan antar-manusia dalam berbagai manajemen pengelolaan sumber-sumber daya akan merupakan
sumbangan yang penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi Indonesia.
Salah satu isyu yang saya kira cukup penting untuk diperhatikan di dalam kajian-kajian mengenai manajemen
pengelolaan sumber-sumber daya adalah corak dari kebudayaan manajemen yang ada setempat, atau pada corak
kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan manajemen sumber daya dalam sebuah
korporasi. Perhatian pada pengelolaan manajemen ini akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak
nilai-nilai budaya dan operasionalisasi nilai-nilai budaya tersebut atau etos, dalam pengelolaaan manajemen yang dikaji.
Kajian seperti ini juga akan dapat menyingkap dan mengungkap seperti apa corak etika (ethics) yang ada dalam
struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manajemen yang memproses masukan (in-put) menjadi
keluaran.(out-put). Apakah memang ada pedoman etika dalam setiap struktur manajemen, ataukah tidak ada pedoman
etikanya, ataukah pedoman etika itu ada yang ideal (yang dicita-citakan dan yang dipamerkan) dan yang aktual (yang
betul-betul digunakan dalam proses-proses manajemen dan biasanya disembunyikan dari pengamatan umum)?
Permasalahan etika ini menjadi sangat penting dalam pengelolaan manajemen sumber daya yang dilakukan oleh
berbagai organisasi, lembaga, atau pranata yang ada dalam masyarakat. Negeri kita kaya raya akan sumber-sumber
daya alam dan kaya akan sumber-sumber daya manusia yang berkualitas. tetapi pada masa sekarang ini kita, bangsa
Indonesia, tergolong sebagai bangsa yang paling miskin di dunia dan tergolong ke dalam bangsa-bangsa yang
negaranya paling korup. Salah satu sebab utamanya adalah karena kita tidak mempunyai pedoman etika dalam
mengelola sumber-sumber daya yang kita punyai. Pedoman etika yang menjamin proses-proses manajemen tersebut
akan menjamin mutu yang dihasilkannya. Kajian-kajian seperti ini bukan hanya menyingkap dan mengungkapkan ada
tidaknya atau bercorak seperti apa nilai-nilai budaya yang berlaku dan etika yang digunakan sebagai pedoman dalam
pengelolaan manajemen sesuatu kegiatan, organisasi, lembaga, atau pranata; tetapi juga akan mampu memberikan
pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan menurut dan sesuai dengan
konteks-konteks macam kegiatan dan organisasi.
Secara garis besarnya etika (ethics) dapat dilihat sebagai 'Pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur
tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah profesi, yang di dalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan
nilai-nilai yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi si pelaku sebagaimana seharusnya, sesuai
dengan hak dan kewajibannya. Sehingga peranannya dalam sesuatu struktur kegiatan adalah fungsional dalam
memproses masukan menjadi keluaran yang bermutu (Bertens 2001, Magnis-Suseno 1987). Dalam ruang lingkup luas,
dalam masyarakat-masyarakat maju, kita kenal adanya etika politik, etika akademik, etika bisnis, etika administrasi dan
birokrasi, dan sebagainya. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil kita bisa melihat berbagai pedoman etika yang ada atau
tidak ada dalam berbagai struktur kehidupan atau pengelolaan sumber-sumberdaya yang lebih khusus, misalnya
pembahasan mengenai "Akbar Tanjung dan Etika Politik" sebagaimana yang telah dikemukakanoleh Alfian M (2002)
Masalah yang kita hadapi berkenaan dengan upaya menuju masyarakat Indonesia yang multikultural adalah sangat
kompleks. Apakah kita para ahli antropologi sudah siap untuk itu? Apakah Jurusan-jurusan Antropologi yang ada di
Indonesia ini juga sudah siap untuk itu? Dalam kesempatan ini saya ingin menghimbau bahwa mungkin ada baiknya
bila kita semua memeriksa diri kita masing-masing mengenai kesiapan tersebut. Pertama, apakah secara konseptual
dan teoretikal kita cukup mampu untuk melakukan penelitian dan analisis atas gejala-gejala yang menjadi ciri-ciri dari
masyarakat majemuk yang telah selama lebih dari 32 tahun kita jalani, dan apakah kita juga akan mampu untuk membuat
semacam blueprint untuk merubahnya menjadi bercorak multikultural? Kalau kita belum mampu, sebaiknya kita
persiapkanlah diri kits melalui berbagai kegiatan diskusi, seminar, atau lokakarya untuk menambah khazanah ilmu
pengetahuan kita dan mempertajam konsep-konsep dan metodologi yang relevan dalam kajian mengenai
ungkapan-ungkapan masyarakat majemuk dan multikultural. Kalau merasa diperlukan, sebaiknya pimpinan dan
dosen-dosen dari berbagai Jurusan Antropologi dapat duduk bersama untuk membicarakan isyu-isyu penting berkenaan
dengan peranan antropologi dalam membangun Indonesia sesuai cita-cita reformasi. Pembicaraan para pimpinan
jurusan ini sebaiknya terfokus pada upaya untuk mengembangkan kurikulum dan konsep-konsep serta metodologi yang
sesuai dengan itu.
Kedua, apakah secara metodologi kita sudah siap untuk itu? Kajian-kajian etnografi yang teradisional, yang bercorak
butterfly collecting sebagaimana yang selama ini mendominasi kegiatan-kegiatan penelitian mahasiswa untuk skripsi dan
dosen, sebaiknya ditinjau kembali untuk dirubah sesuai dengan perkembangan antropologi dewasa ini dan sesuai
dengan upaya pembangunan masyarakat Indonesia menuju masyarakat yang multikultural. Penelitian etnografi yang
bercorak penulisan jurnalisme juga sebaiknya dihindari dan diganti dengan penelitian etnografi yang terfokus dan
mendalam, yang akan mampu mengungkap apa yang tersembunyi dibalik gejala-gejala yang dapat diamati dan
didengarkan, dan yang akan mampu menghasilkan sebuah kesimpulan atau tesis yang sahih. Begitu juga
kegiatan-kegiatan penelitian yang menggunakan kuesioner untuk mendapat respons dari respeonden atas sejumlah
pertanyaan sebaiknya ditinggalkan dalam kajian untuk dan mengenai multikulturalisme ini. Karena, kajian seperti ini
hanya akan mampu menghasilkan informasi mengenai kecenderungan gejala-gejala yang diteliti, bersifat superfisial, dan
menyembunyikan bayak kebenaran yang seharusnya dapat diungkapan melalui dan dalam kegiatan sesuatu penelitian.
Pendekatan kualitatif dan etnografi, yang biasanya dianggap tidak ilmiah karena tidak ada angka-angka statistiknya,
sebaiknya digunakan dengan menggunakan metode-metode yang baku sebagaimana yang ada dalam buku yang di-edit
oleh Denzin dan Lincoln (2000), karena justru pendekatan kualitatif inilah yang ilmiah dan obyektif dalam konteks-konteks
masyarakat atau gejala-gejala dan masalah yang ditelitinya. Untuk itu perlu juga diperiksa tulisan Guba dan
tulisan-tulisan dari sejumlah penulis yang di-editnya (1990) yang menunjukkan kelemahan dari filsafat positivisme yang
menjadi landasan utama dari metodologi kualitatif.
Ketiga, ada baiknya jika berbagai upaya untuk melakukan kajian multikulturalisme dan masyarakat mulitikultural yang telah
dilakukan oleh ahli-ahli antropologi juga dapat menstimuli dan melibatkan ahli-ahli sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi
dan bisnis, ilmu pendidikan, ilmu hukum, ilmu kepolisian, dan ahli-ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya
untuk secara bersama-sama melihat, mengembangkan dan memantapkan serta menciptakan model-model penerapan
multikutlralisme dalam masyarakat Indonesia, menurut perspektif dan keahlian akademik masing-masing. Sehingga
secara bersama-sama tetapi melalui dan dengan menggunakan pendekatan masing-masing, upaya-upaya untuk menuju
masyarakat Indonesia yang multikultural itu dapat dengan secara cepat dan efektif berhasil dilaksanakan.
Upaya-upaya tersebut diatas dapat dilakukan oleh Jurusan Antropologi, atau gabungan Jurusan Antropologi dan satu atau
sejumlah jurusan lainnya yang ada dalam sebuah universitas atau sejumlah universitas dalam sebuah kota untuk
mengorganisasi kegiatan-kegiatan diskusi, seminar kecil, atau lokakarya. Kegiatan-kegiatan ini akan dapat dijadikan
landasan bagi dilakukannya kegiatan seminar atau lokakarya yang lebih luas ruang lingkupnya. Dengan cara ini maka
konsep-konsep dan teori-teori serta metodologi berkenaan dengan kajian mengenai multikulturalisme, masyarakat
multikultural, dan perubahan serta proses-prosesnya dan berbagai konsep serta teori yang berkaitan dengan itu semua
akan dapat dikembangkan dan dipertajam sehingga operasional di lapangan.
Disamping bekerja sama dengan para ahli dari berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mempunyai perhatian terhadap
masalah multikulturalisme, ahli-ahli antropologi dan terutama pimpinan jurusan antropologi sebaiknya mulai memikirkan
untuk memberikan informasi mengenai multikulturalisme kepada berbagai lembaga, badan, dan organisasi
pemerintahan yang dalam kebijaksanaan mereka langsung atau tidak langsung berkaitan dengan masalah
multikulturalisme. Hal yang sama juga sebaiknya dilakukan terhadap sejumlah LSM dan tokoh-tokoh masyarakat atau
partai politik. Selanjutnya, berbagai badan atau organisasi pemerintahan serta LSM diajak dalam berbagai kegiatan
diskusi, seminar, dan lokakarya sebagai peserta aktif. Mereka ini adalah kekuatan sosial yang akan mendukung dan
bahkan dapat memelopori terwujudnya cita-cita reformasi bila mereka memahami makna multikulturalisme dan
bangunan konsep-konsep yang berkaitan dengan itu, atau mereka itu dapat juga menentang multikulturalisme dan ide
tentang masyarakat multikultural Indonesia bila mereka tidak memahaminya atau mereka merasa tidak berkepentingan
untuk turut melakukan reformasi.
Upaya-Upaya Yang Dapat Dilakukan
Cita-cita reformasi yang sekarang ini nampaknya mengalami kemacetan dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan
kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor,
yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki
masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat
yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak
struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal.
Bila pengguliran proses-proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil
maka tahap berikutnya adalah mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-organisasi sosial yang
tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau pranata-pranata sosial tersebut mencakup reformasi
dan pembenahan dalam kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta pembenahan
dalam hukum dan penegakkan hukum bagi keadilan. Dalam upaya ini harus dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan
budaya bagi keanekaragaman kebudayaan yang ada setempat atau pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional dan
berbagai corak dinamikanya.
Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan
adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur
kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara hukum.
Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun
pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak menginginkannya atau tidak menyetujuinya. Ketidak
inginan merubah tatanan yang ada biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan
dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan
pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk
meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan.
Bersamaan dengan upaya-upaya tersebut diatas, sebaiknya Depdiknas R.I. mengadopsi pendidikan multikulturalisme
untuk diberlakukan dalam pendidikan sekolah, dari tingkat SD sampai dengan tingkat SLTA. Multikulturalisme sebaiknya
termasuk dalam kurikulum sekolah, dan pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai pelajaran ekstra-kurikuler atau menjadi
bagian dari krurikulum sekolah (khususnya untuk daerah-daerah bekas konflik berdarah antar sukubangsa, seperti di
Poso, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya). Dalam sebuah diskusi dengan tokoh-tokoh
Madura, Dayak, dan Melayu di Singkawang baru-baru ini, mereka itu semuanya menyetujui dan mendukung ide tentang
diselenggarakannya pelajaran multikulturalisme di seklah-sekolah dalam upaya mencegah terulangnya kembali di masa
yang akan datang konflik berdarah antar sukubangsa yang pernah mereka alami baru-baru ini (lihat Suparlan 2002)
Sebagai penutup mungkin dapat kita pikirkan bersama apakah multikulturalisme sebagai ideologi yang mendukung
cita-cita demokrasin akan hanya kita jadikan sebagai wacana ataukah akan kita jadikan sebagai sebuah tema utama
dalam antropologi Indonesia yang akan merupakan sumbangan antropologi Indonesia bagi pembangunan masyarakat
Indonesia. Semuanya terpulang pada keputusan kita bersama.
Daftar Kepustakaan
Alfian M., M. Alfian, 2002, "Akbar Tanjung dan Etika Politik". Harian Media Indonesia, 19 Maret 2002.
Bertens, K., 2991, Etika. Jakarta: Gramedia.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincolns (eds), 2000, Handbook of Qualitative Research. Second Edition. London: Sage.
Fay, Brian, 1996, Contemporary Philosophy of Social Science: A Multicultural Approach. Oxford: Blackwell
Glazer, Nathan, 1997, We Are All Multiculturalists Now. Cambridge, Mass.:Harvard University Press.
Guba, Egon G.(ed.), The Paradigm Dialog. London: Sage.
Jary, David dan Julia Jary, 1991, "Multiculturalism". Hal.319. Dictionary of Sociology. New York: Harper.
Magnis-Suseno, 1987, Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius.
Nieto, Sonia, 1992, Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education. New York: Longman.
Reed, Ishmed (ed.), Multi America: Essays on Culture Wars and Peace. Pinguin.
Rex, John, 1985, "The Concept of Multicultural Society". Occassional Paper in Ethnic Relations, No. 3. Centre for Research in Ethnic
Relations (CRER).
Suparlan, Parsudi, 1999, "Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme". Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal.
35-42.
_________ , 2001a, "Bhinneka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan? makalah disampaikan dalam Seminar
"Menuju Indonesia Baru". Perhimpunan Indonesia Baru - Asosiasi Antropologi Indonesia. Yogyakarta, 16 Agustus 2001.
_________ , 2001b, "Indonesia Baru Dalam Perspektif Multikulturalisme". Harian Media Indonesia, 10 Desember 2001.
_________ , 2002a, "Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti dalam Masyarakat Majemuk Indonesia". Jurnal Antropologi Indonesia,
no. 6,
hal. 1-12.
_________ , 2002b, Konflik Antar-Sukubangsa dan Upaya Mengatasinya. Temu Tokoh. "Dengan Keberagaman Etnis Kita Perkokoh
Persatuan dan
Kesatuan Bangsa dalam Rangka Menuju Integrasi Bangsa". Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian
dan Pengembangan Budaya - Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional (BKNST) Pontianak. Singkawang, 12-14 Juni 2002.
Watson, C.W., 2000, Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open University Press.
About Me
- Yusi Pujiwarastuti
- Staf Pengajar SMA Islam Terpadu ITUS
Sociology
- sociology